Pengertian Etika (Etimologi),
berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau
adat kebiasaan (custom). Dan “Ethos” adalah bentuk tunggal dari kata ‘etika’
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu :
tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti "ta etha" yaitu
adat kebiasaan. Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan
yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam
kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk
penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian
sistem nilai-nilai yang berlaku.
Arti dari bentuk jamak inilah yang
melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata),
etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Pengertian etika secara umum adalah
Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat
dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang
kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa
keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan.
Jenis Etika
Jenis Etika
a. Etika Filosofis
Etika filosofis secara
harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah
bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam
filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.
Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya
juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
Non-empiris Filsafat
digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan
pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat
berusaha melampaui yang konkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik
gejala-gejala konkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti
pada apa yang konkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang
apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Praktis Cabang-cabang
filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum
mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan
bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai
cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis
dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis
melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti
hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori
etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita
mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
b. Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu
diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya
milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya
masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum,
karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara
umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika
teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda
antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya,
etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi
tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam
kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut
juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika
teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu
tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit
berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik
atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi
sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan
yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
0 komentar:
Posting Komentar